Mengungkap Kisah Hidup Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani
Adalah seorang ulama Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi Imam Masjidil Haram. Ia bergelar al-Bantani karena berasal dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab, jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.
GUS MUHAMMAD IRFAN ZIDNY, LC
10/28/20258 min read
Biografi Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani
Adalah seorang ulama Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi Imam Masjidil Haram. Ia bergelar al-Bantani karena berasal dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab, jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi al-Bantani kemudian dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni ilmunya), A'yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 Hijriyah), hingga Imam Ulama al-Haramain, (Imam 'Ulama Dua Kota Suci). Syekh Nawawi lahir di Kampung Tanara Desa Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa (dulu, sekarang Kecamatan Tanara), Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi, dengan nama Muhammad Nawawi bin 'Umar bin 'Arabi al-Bantani. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Ia merupakan generasi ke-12 dari Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Nasabnya melalui jalur Kesultanan Banten ini sampai kepada Nabi Muhammad .صلى الله عليه وسلم
Ayah Syekh Nawawi merupakan seorang Ulama lokal di Banten, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani, sedangkan ibunya bernama Zubaedah, seorang ibu rumah tangga biasa. Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Serang dan dikaruniai 3 orang anak: Nafisah, Maryam, Rubi'ah. Sang istri wafat mendahului dia, Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir. Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.
Di usianya yang belum genap lima belas tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang, sampai kemudian ia mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi menunaikan haji dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama masyhur di Mekah saat itu.
Guru-gurunya
Berikut adalah para ulama yang pernah ditimba ilmunya oleh Syekh Nawawi:
Syekh Umar bin Arabi al-Bantani (Ayahnya)
H. Sahal al-Bantani
Syekh Baing Yusuf Purwakarta
Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi
Syekh Ahmad Zaini Dahlan
Syekh Abdul Ghani al-Bimawi
Syekh Yusuf Sumbulaweni
Syekh Abdul Hamid Daghestani
Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
Syekh Ahmad Dimyati
Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki
Syekh Junaid al-Batawi
Syekh Zainuddin Aceh
Syekh Syihabuddin
Syekh Yusuf bin Muhammad Arsyad al-Banjari
Syekh Abdush Shamad bin
SyekhAbdurahman al-Falimbani
Syekh Mahmud Kinan al-Falimbani
Syekh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani
Murid-muridnya
Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi
Syekh Kholil al-Bangkalani, Madura
Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri
Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani, Caringin, Labuan, Pandeglang
Syekh Arsyad Thawil al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di Sulawesi Utara[11]
Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi, Delhi, India - Pengajar di Masjidil Haram
Sayyid Ali bin Ali al-Habsy - Pengajar di Masjidil Haram
Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, Pattani, Thailand
Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani - Cucu Syekh Nawawi
H. Saleh Darat as-Samarani
H. Hasyim Asyari, Jombang - Pendiri Nahdlatul Ulama
H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta - Pendiri Muhammadiyah
H. Hasan Genggong - Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong
H. Mas Abdurahman - Pendiri Mathla'ul Anwar
H. Raden Asnawi, Kudus
Haji Abdul Karim Amrullah, Sumatra Barat
H. Thahir Jamaluddin, Singapura
H. Dawud, Perak, Malaysia
H. Hasan Asyari, Bawean
H. Najihun, Mauk, Tangerang
H. Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang
H. Ilyas, Kragilan, Serang
H. Wasyid - Pejuang Geger Cilegon 1888
H. Tubagus Ismail - Pejuang Geger Cilegon 1888
H. Arsyad Qashir al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888
H. Abdurrahman - Pejuang Geger Cilegon 1888
H. Haris - Pejuang Geger Cilegon 1888
H. Aqib - Pejuang Geger Cilegon 1888 ,Dan lain sebagainya.
Gelar kehormatan
al-Sayyid al-'Ulama al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz) atau Sayyidul Hijaz (penjaga Hijaz)
Nawawi at-Tsani (Nawawi kedua). Orang pertama yang memberi gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani
al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam)
A'yan 'Ulama al-Qarn ar-Ram 'Asyar Li al-Hijrah (tokoh ulama abad 14 Hijriyah)
Imam 'Ulama Al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci)
Doktor Ketuhanan (orang pertama yang memberikan gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Christiaan Snouck Hurgronje)
asy-Syaikh al-Fakih (disematkan oleh kalangan pesantren) Bapak Kitab Kuning Indonesia (disematkan oleh para Ulama Indonesia).
Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus min Madhi al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.
Sebagian karya-karya Beliau:
al-Tsamar al-Yani'ah syarah al-Riyadl al-Badi'ah
al-'Aqd al-Tsamin syarah Fath al-Mubîn
Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiy
Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah
Maulid Syarif al-‘Anâm
Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
al-Riyâdl al-Fauliyyah
Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya, al-Munir, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safinatun Najah, karya Syekh Salim bin Sumeir al-Hadhramy. Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya adalah Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja, dan yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa yaitu Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Adapun Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.
Diantara karomah beliau:
Telunjuk Bersinar dan Dapat Menjadi Lampu Penerang
Pada suatu waktu di sebuah perjalanan dalam syuqduf (rumah-rumahan di punggung unta) Syekh Nawawi pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuknya sebagai lampu. Hal tersebut terjadi karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yang ia tumpangi, sementara aspirasi untuk menulis kitab tengah kencang mengisi kepalanya. Syekh Nawawi kemudian berdoa kepada Allah agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu, menerangi jari kanan yang akan digunakannya untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraqi al-'Ubudiyyah syarah Matan Bidayah al-Hidayah itu harus dibayarnya dengan cacat pada jari telunjuk kiri, karena cahaya yang diberikan Allah pada telunjuk kirinya itu membawa bekas yang tidak hilang.
Melihat Ka'bah dari Tempat Lain yang Jauh
Karamah lain Syekh Nawawi juga diperlihatkannya di saat ia mengunjungi Masjid Pekojan, Jakarta. Masjid yang dibangun oleh Sayyid Utsman bin 'Agil bin Yahya al-'Alawi (mufti Betawi keturunan Rasulullah صلى الله عليه وسلم) itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.Tak ayat, saat Syekh Nawawi yang dianggapnya hanya seorang anak remaja tak dikenal menyalahkan penentuan kiblat, Sayyid Utsman sangat terkejut. Diskusipun terjadi antara keduanya, Sayyid Utsmân tetap berpendirian bahwa kiblat Mesjid Pekojan tersebut sudah benar, sementara Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat haruslah dibetulkan. Saat kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsmân dan dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat, kemudian berkata: “"Lihatlah Sayyid!, itulah Ka'bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka'bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke arah Ka'bah."”Sayyid Utsman termangu. Ka'bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari bahwa remaja yang bertubuh kecil di hadapannya itu telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Yang dengan karamah itu, di manapun dia berada Ka'bah akan tetap terlihat.[19] Dengan penuh hormat Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil Syekh Nawawi. Sampai saat ini di Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser dan tidak sesuai aslinya.
Jasad yang Tetap Utuh
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota dan lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan tersebut dijalankan tanpa pandang bulu hingga menimpa pula pada makam Syekh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya, yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet dan tidak ada tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain kafan penutup jasad Syekh Nawawi tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian tersebut mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil, yaitu larangan dari pemerintah untuk membongkar makam Syekh Nawawi. Jasadnya lalu dikuburkan kembali seperti sediakala, dan hingga sekarang makam Syekh Nawawi tetap berada di Ma'la, Mekah.
Shalat di Dalam Mulut Ular Besar
Suatu hari ketika dalam perjalanan, Syekh Nawawi istirahat di sebuah tempat untuk azan kemudian salat. Setelah ia azan ternyata tidak ada orang yang datang, akhirnya ia qamat lalu salat sendirian. Usai shalat Syekh Nawawi kembali melanjutkan perjalanan, tapi ketika menengok ke belakang, ternyata ada seekor ular raksasa dan mulutnya sedang menganga. Akhirnya ia tersadar bahwa ternyata ia salat di dalam mulut ular yang sangat besar itu. Syekh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi. Makamnya terletak di Jannatul Mu'alla, Mekah. Makam dia bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah air, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara di Tanara, Serang, asuhan K.H. Ma'ruf Amin. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri Nusantara, bahkan mancanegara.
Kontribusi terhadap Dunia Islam
Salah satu sumbangsih terbesar Syekh Muhammad Nawawi adalah dalam bidang penulisan. Ia dikenal telah menyusun banyak karya tulis yang menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam. Karya-karya beliau tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga memberikan aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa bukunya masih dipelajari hingga kini di berbagai pesantren di Indonesia dan negara-negara lain, menjadikannya sebagai simbol pendidikan Islam yang berkualitas.
Beliau juga berperan aktif dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren yang lebih terstruktur, yang memungkinkan generasi muda untuk mengejar pendidikan agama dengan lebih baik. Melalui metode pengajaran yang inovatif, Syekh Nawawi mengajarkan pentingnya pemahaman yang mendalam dan kritis terhadap sumber-sumber agama.
Peninggalan dan Inspirasi bagi Generasi Mendatang
Hingga saat ini, pengaruh Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani terasa sangat signifikan. Beliau tidak hanya dikenang sebagai ulama, tetapi juga sebagai pahlawan pendidikan. Peninggalan-peninggalan intelektual dan moralnya memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk menekuni ilmu dan mengembangkan diri. Di tengah modernitas yang terus berkembang, nilai-nilai yang beliau ajarkan tetap relevan dan menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.
Dalam penutupan, kita bisa menyimpulkan bahwa biografi Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani mencerminkan perjalanan seorang ulama yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berdedikasi kepada kemajuan pendidikan di Indonesia. Semoga semangatnya dapat menginspirasi kita semua untuk terus belajar dan berbagi ilmu demi kebaikan umat.
Kontak
Sosial Media
Alamat
© 2025. Al Amin Heliconia All rights reserved.
hubungi:
Bukit Heliconia, Citra Indah City, Singajaya, Jonggol, Bogor Jawa Barat
